Jumat, 07 September 2012

ROTE

CERITA RAKYAT NTT

Add caption  
  • FoE Mbura  FoE Mbura adalah seorang Manek di Nusak Thie Kecamatan Rote Barat Daya sekarang ini. Ia memerintah di Nusak Thie pulau Rote, kabupaten Rote Ndao, sekitar permulaan abad ke 17. Pada waktu itu FoE Mbura sudah mengadakan hubungan dagang dan persahabatan dengan orang-orang Portugal dan Belanda. Dalam pergaulannya dengan orang-orang asing itu, FoE Mbura melihat bahwa orang-orang itu lebih pandai dan lebih maju daripada orang rote pada umumnya. Maka timbulah niat di hati FoE Mbura yang masih muda itu untuk pergi merantau mencari ilmu ke Matabi. Matabi adalah nama Betawi dalam ejaan bahasa Rote. Ia lalu mengajak tiga orang teman manek atau raja dari Nusak lain untuk merantau mencari ilmu ke Matabi. Ketiga orang Manek itu adalah TouF Dengga Lilo dari Nusak Baa, Ndara Naong dari Nusak Lelain, dan Ndi’i Hua dari Nusak Lole. Mereka lalu membuat sebuah perahu besar untuk dipakai berlayar ke Matabi. Perahu itu diberi nama “Sangga Ndolu” yang artinya mencari ilmu pengetahuan. Diperkirakan pada tahun 1972 mereka berlayar dari Rote menuju Matabi. Beberapa bulan kemudian mereka tiba di Betawi. Mereka menemui pemerintah Belanda di Betawi dan menyampaikan maksud mereka untuk menuntut ilmu pengetahuan. Atas maksud baik ini maka pemerintah Belanda menyambut dan mendidik mereka sekitar 7 tahun di Betawi. Mereka dididik dalam berbagai ilmu pengetahuan dasar seperti membaca, menulis, berhitung, dan lain-lain. Disamping itu mereka dididik juga mengenai agama Kristen. Mereka semua lalu dibaptis menjadi orang kristen dan di beri nama baru. FoE Mbura diberi nama Benyamin Messakh dan Ndi’i Hu’a diberi nama Zacharias. Sekembalinya mereka di Rote, Benyamin Messakh langsung mendirikan sebuah Sekolah Dasar dan sebuah gereja di kampung Fiulain di Thie, kecamatan Rote Barat Daya sekarang ini. Itulah sekolah pertama dan jemaat Kristen pertama di Pulau Rote. Dari situlah sekolah dan gereja berkembang ke seluruh Pulau Rote hingga sekarang. Puluhan tahun kemudian dari Pulau Rote yang mungil ini banyak pendeta dan guru-guru dikirim ke Pulau Timor, Alor, Sabu, dan Sumba untuk membuka sekolah dan menginjili masyarakat di pulau-pulau itu. Itulah sebabnya sebagian pulau Timor, Sumba, dan Alor menjadi daerah Kristen Protestan hingga hari ini,. Cita-cita FoE mBura dan kawan-kawan untuk mencari ilmu ke Matabi atau Betawi pada awal abad ke 17, dapat diumpamakan sebagai pungguk merindukan bulan. Betapa tidak, jarak Rote dan Batavia ribuan mil,jarak ini harus ditempuh dengan sebuah perahu layar tradisional tanpa fasilitas modern. Mereka bertarung nyawa menantang angin dan gelombang laut sepanjang pelayaran, entah berapa lama. Tapi tekad bulat untuk meraih cita-cita yang tulus yaitu mencari ilmu demi kemajuan masyarakat Rote Ndao tidak pernah kendor. Cita-cita luhur untuk kemajuan yang didukung tekad bulat untuk bekerja keras merupakan kunci keberhasilan FoE Mbura dan kawan-kawan, cita-cita dan tekad inilah yang harus dikobarkan terus dalam sanubari tiap muda-mudi Rote Ndao, bahkan semua muda mudi NTT hari-hari sekarang ini, karena berhasil mereka ternyata juga menjadi berkat bagi banyak daerah di bumi Flobamora dan Nusantara tercinta. Untuk itu, kita patut menundukkan kepala sambil mengenang mereka dan merenungkan cita-cita luhur mereka dengan tekad bulat membangun negeri ini dengan penuh rasa tanggung jawab. 2. JEDO PARE TONU WUJO Mata pencarian orang-orang di Flores Timur dahulu kala adalah nelayan Dan meramu hasil hutan. Menjadi nelayan adalah pekerjaan kaum lelaki sedangkan meramu hasil hutan adalah tugas kaum wanita Flores Timur. Dengan mata pencarian yang sederhana itu, penduduk setempat seringkali di timpa bencana kelaparan. Apalagi pada waktu tanaman bahan makanan seperti padi, jagung kacang-kacang, labu, jewawut dan lain-lain belum dikenal oleh masyarakat. Hingga pada suatu waktu terjadi bencana kelaparan yang hebat di Flores Timur. Bencana kelaparan itu menimpa seluruh penduduk termasuk satu keluarga terdiri dari delapan bersaudara. Kedelapan bersaudara ini terdiri dari tujuh orang laki-laki dan seorang perempuan yang bungsu. Nama si bungsu ini ialah Jedo Pare Tonu Wujo. Dikisahkan bahwa pada suatu musim kelaparan yang hebat, Jedo, nama panggilan si bungsu ini, mengajak saudara-saudara untuk menebas hutan dan membuat kebun. Setelah kebun itu selesai di pagari maka musim hujan pun tiba. Ketujuh saudara laki-laki Jedo bingung karena mereka tidak tahu apa yang akan mereka tanam di dalam kebun itu. Dalam kebingungan itu, pada suatu malam dengan air mata berlinang, Jedo meminta kepada kakak-kakaknya agar keesokan harinya mereka pergi bersama-sama ke kebun yang mereka buat. Di sana Jedo akan memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai apa yang harus kakak-kakaknya perbuat agar kebun itu menghasilkan bahan makanan yang berlimpah bagi mereka. Keesokan harinya ketika fajar baru menyingsing, jedo membangunkan kakak-kakaknya untuk berangkat ke kebun. Sepanjang perjalanan kakak-kakak Jedo hanyut dalam kebingungan dan semuanya membisu seribu bahasa. Ketika matahari mulai memancarkan sinarnya di ufuk timur mereka tiba di kebun. Lalu Jedo meminta kakak-kakaknya memancang sebatang kayu ditengah-tengah kebun itu. Lalu Jedo meminta pula agar sebuah batu ceper yang cukup besar diangkat dan diletakan berdampingan dengan batang kayu yang sudah di pancang. Kemudian Jedo duduk bersila di atas batu ceper itu lalu memanggil kakak-kakaknya untuk berdiri mengelilinginya. Kemudian dengan tenang Jedo berkata kepada kakak laki-lakinya yang paling muda. Katanya “Dengarlah pesan saya dan setelah saya selesai berpesan kerjakanlah apa yang saya pesankan. Jangan takut dan jangan sedih sebab apa yang kupesankan ini sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Inilah pesanku, yaitu penggallah kepalaku, dan jika nyawaku sudah melayang, biarkan darahku membasahi batu tempat ku duduk sekarang dan terus mengalir ke seluruh pojok kebun ini. Setelah itu kamu semua boleh pulang ke rumah, dan enam hari lagi kamu boleh kembali lagi ke sini!” Sesudah berpesan, Jedo menundukan kepalanya, lalu dengan sedih saudara-saudaranya memenggal kepala adik perempuan mereka. Darah adiknya itu dibiarkan membasahi batu ceper itu dan terus merembes ke semua pojok kebun mereka. Setelah itu ketujuh bersaudara itu kembali ke rumah mereka dengan hati yang sangat sedih. Enam hari kemudian ketujuh bersaudara itu datang kembali ke kebun sesuai dengan pesan Jedo. Setiba di kebun, mereka heran dengan perasaan gembira dan sedih silih berganti, sebab di seluruh kebun itu tumbuh berbagai pangan yang sangat subur, yaitu padi, jagung, labu dan jewawut. Beberapa bulan kemudian musim panen pun tiba. Seluruh hasil panen itu mula-mula dikumpulkan di atas batu ceper sebagai suatu peringatan. Setelah semua itu hasil panen terkumpul, barulah diangkut ke rumah dan dimasukan ke dalam lumbung. Sejak itu ketujuh bersaudara serta seluruh keturunannya mulai hidup makmur dan bebas dari bencana kelaparan. Itulah sebabnya sampai hari ini setiap sawah dan kebun di sana selalu ada batu ceper dan tiang pancang di dalamnya. Batu ceper dan tiang pancang itu disebut Jedo Pare Tonu Wujo. Itulah tempat meletakan semua bibit yang hendak ditanam dan tempat mengumpulkan seluruh hasil panen sebelum dibawah ke rumah. Hal ini dibuat sebagai kenangan dan sekaligus sebagai penghormatan bagi Jedo Pare Tonu Wujo yang telah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya demi kemakmuran saudara-saudarnya. Kini Jedo Tonu Wujo, telah tiada dan tinggal kenangan. Tetapi cita-cita dan pengorbanannya akan tetap dikenang sepanjang masa

Tidak ada komentar: